Sebuah
pembelajaran yang paling optimum adalah disaat usia kita masih dini. Belajar
membutuhkan otak yang fresh dan jernih. Masa yang seperti apakah yang memiliki
otak yang fresh dan jernih? Masa muda. Muda fikirannya, muda pandangannya
maupun muda otaknya. Mudanya dari segala yang muda ini bagaikan otak yang masih
segar belum tersentuh apapun dan masih baru belum ada titik-titik noda yang
mengenainya. Sehingga belajar di waktu masa muda akan lebih efektif untuk
mengasah otak menjadi tajam, mudah meresapi ilmu yang diberikan sehingga
bagaikan memori yang bisa menampung banyak kata.
Akan
tetapi tak selamanya masa muda itu indah, untuk bisa membaca 1 kalimat saja
membutuhkan perjuangan. Sehingga ketika muncul kata “keluh susah” akan menyulitkan
dalam melakukan belajar, sehingga memori otak kita akan tersendat-sendat untuk
menyimpannya. Dan apa yang terjadi apabila proses penyimpanan berjalan dengan
tidak lancar? Tentunya file ini akan resah untuk masuk atau keluar sehingga
kalau kita ingin mencoba untuk mengingatnya kembali akan susah. Maka dari itu
jangan ada kata patah semangat untuk belajar dengan rajin supaya pandai
menghafal dan otak kita menjadi mudah dalam menyimpannya.
Karenanya
otak kita adalah otak muda maka penyerapannya lebih mudah, masih banyak ruang
yang longgar sehingga akan dengan mudah meresap dan disimpan dengan baik. Maka
dari itu masa muda adalah masa keemasan untuk belajar, masa kejayaan untuk
menghafal dan mengingat. Jadi jangan heran apabila ada anak usia 9 tahun sudah
bisa menghafal alqur’an. Karena sejatinya mereka sangat menyayangi otak mereka.
Semakin lama seseorang telat belajar dengan giat akan semakin telat dia mengisi
otak mereka dengan hal-hal yang bermanfaat. Sehingga apa akibatnya jika diri
kita sudah telat mengisi space-space pada otak kita?
Ketika
otak kita sudah tua maka bagaikan mesin tua yang sulit untuk dihidupkan. Kadang
mati, kadang hidup, kadang hidup terus namun tiba-tiba macet. Maka hal inilah yang menjadi kendala utama
bagi kita yang telat untuk mendalami ilmu pengetahuan. Sehingga apa yang mereka
lakukan? Disisi lain ada yang berusaha semaksimal mungkin namun disisi lain ada
yang bersifat curang. Lalu, curang yang bagaimana?
Kesulitan
dalam mencerna belajar membuat sesorang ketika ditanya akan susah menjawabnya.
Sehingga banyak sekali ditemukan siswa maupun siswi ketika ujian mendapat nilai
jeblok. Usaha sudah dilakukan dengan maksimal, belajar setengah mati pun
dilakukan, tidak tidur pun masih bisa bertahan, namun usaha mereka ternyata
gagal. Nah, hal inilah yang menyebabkan siswa maupun siswi enggan untuk
berjuang kembali sehingga mereka memilih jalan untuk korupsi. Lalu korupsi yang
seperti apa yang dibudidayakan oleh mereka ketika ujian?
Kebiasaan
buruk ketika menghadapi ujian adalah dengan menoleh samping kanan dan kiri,
kemudian tidak percaya diri untuk mengatakan bisa sehingga mereka ragu untuk
menjawab soal-soal yang diberikan. Maka dari itu mereka biasanya akan bertanya
kepada temannya (korupsi pertama), membuka buku (korupsi kedua) dan menyontek/
ngepek (korupsi ke tiga). Ketiga korupsi inilah korupsi sederhana yang sudah
terlatih dan terdidik di bangku sekolah. Ketika benar-benar menjadi sifat yang
merekat maka akan dibawa sampai nantinya tanpa ia sadari. Maka tak heran juga
jika orang-orang dewasa banyak yang melakukan korupsi terhadap diri sendiri
maupun orang lain.
Paparan
diatas menggambarkan bahwa musuh sejatinya manusia adalah dirinya sendiri.
Ketika sifat buruknya sudah terlatih di bangku pendidikan maka akan sulit untuk
dihilangkan, sehingga perlu adanya membiasakan sedini mungkin membersihkan diri
dari sifat korupsi. Berusahalah percaya akan diri sendiri, karena diri sendiri
tidak akan pernah membohongi diri sendiri, namun berbeda dengan orang lain,
mereka dapat saja berbohong denganmu karena dirimu tidak mampu membaca apa isi
hati mereka. Maka dari itu jangan latih diri sendiri menjadi koruptor terdidik,
tapi menjadilah orang yang confidence dan memilki tujuan nyata dalam hidumu.
Hilangkan koruptor mari percaya diri.
04
Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar