Kali
ini sang penulis akan menceritakan tentang dirinya yang berbeda dari
opini-opini yang lainnya. Alkisah ini ini dimulai sejak pertama
kalimenginjakkan kakinya di tanah manis Kota Magelang. Kenapa dibilang manis?
Ya, benar memang manis, magelang identic dengan masakan yang manis. Sehingga
kehidupan sang penulis kali ini juga dipenuhi dengan kamanisan dan kepahitan
yang dialaminya. “Aku Tak Suka Sama” mengapa saya mengambil topik ini. Karena
cerita-cerita yang akan diungkapakan akan berbeda dengan jati dirinya sebagai
makhluk sosial (ura nguwongno wong) begitulah pepatah jawa mengatakan. Jadi,
boleh saja Saudara menilai dan memberi saran untu kebaikan sang penulis ini.
Awal
disaat menjalani kuliah pertama kali, dengan basic sebagai siswa alumni MA
Madarijul Huda kurang begitu mengerti akan dunia luar. Dikarenakan sejatinya
diri ini memang ‘katrok’. Selain itu ketertarikan kepada dunia mengajar yang
tinggi membuat sang penulis merasa kaget masuk sebagai mahasiswa pertanian.
Basic-basic pertanian pun belum pernah didapatkan saat Mts. maupun MA, maka
dari itu saya terlihat berbeda dengan sifat-sifat mulut diamnya. Ketika awal
semester 1 setiap kuliah datang mepet jam 7 dan ketika waktu menandakan habis
maka segerlah diraih tas dari bangku dan bergegas pulang. Tak pernah peduli
dengan apa yang akan teman-teman lakukan, belajar bareng, makan bareng, main
bareng, bahkan sekalipun ada pengumuman ditinggal pulang. Hal inilah yang
menandakan bahwa si dia ini tidak ingin bergaul hingga berujung ke semester 2.
Segala
keegoisan diri telah telah tertanam selama 2 semester hingga saat semester 3
saya mampu membaur dengan teman-teman. Berbicara ceplas ceplos, mau diajak
belajar bareng, mau mendengarkan pengumuman kelas, hingga menunggu sesuatu yang
tidak penting pun dilakukan. Hingg suatu hari diadakanlah makrab kelas (malam
keakraban) untuk menunjukkan bahwa kita ini adalah 1 keluarga dengan pondasi
persatuan para anggota. Disinilah saya mulai menunjukkan sikap peduli dengan
teman, dan ketika evaluasi diri komentar yang diberikan kepada sang penulis ini
hanyalah ‘jangan ngalahan, kalau ngerjain tugas jangan dikerjakan sendiri,
kalua butuh bantuan bilang, jangan terlalu baik’ hanya komentar-komentra
positif yang diberikan. Sungguh aneh, padahal sampai detik ini juga saya tidak
mau begitu mengakrabkan diri dengan teman 1 kelas. Dan dikagetkannya bicara
sang penulis yang ceplas-ceplos saat memberikan komentar dan saran dengan teman
praktikumnya. Hingga semua orang tertawa tidak menyangka.
Selain
keegoisan diri selama melakukan proses belajar, sang penulis tidak pernah mau
mengambil mata kuliah pilihan yang diambil oleh teman-teman satu kelas,
sehingga diri ini hanya mengambil mata kuliah yang diminati paling minim oleh
mereka. Jikalau tidak maka mengambil mata kuliah yang sama namun berbeda jadwal
dan hari. Entah mengapa ini selalu terjadi dari semester 2 hingga sekarang. Kalaupun
ada yang sama dengan yang lain setidaknya hanya beberapa saja. Sifat keegoisan
disini masih selalu saja muncul. Pernah terjadi keributan, ketika mencari jam
ganti mata kuliah wajib. Karena dissat hari ini ada kuliahnya mereka dan saya
libur dan ketika saya kuliah mereka libur. Maka kan sangat sulit mencari jam
ganti.
Aku
tak suka sama. Disamaipun aku tak suka. Begitulah kata yang tepat. Untuk
beradaptasi dengan kaka tingkahkah atau dengan kelas lain? Atau hanya untuk
menghindari dari sifat-sifat mereka yang beum cocok dengankukah? Atau entah
bagaimana. Namun tetapi kita tetaplah satu keluarga. Tetap satu pondasi untuk
bersatu. Walaupun sampai sekarang enggan bergaul, enggan berorganisasi, dan
menghabiskan waktu dengan mereka akan tetapi perbedaan inilah yang kusuka.
Apalagi menemui teman-teman yang enggan sholatnya, enggan mengajinya, kotor
perkataannya, semuanya sudah menjadi pemandangan manis asin seperti masakan
orang magelang. Aku suka berbeda, bagaimana dengan kamu? Berbedakah kita atau
kamu tak ingin sama.
Wallahu
a’alam.
05
Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar