Sering
orang mengatakan pesantren ataupun mengenal istiahnya, namun penilaian menurut
pengalaman penulis sungguh mencengangkan dibalik mereka yang mendengar kata
pesantren. Pesantren merupakan wadah bagi kita untuk belajar mendalami ilmu
agama untuk dunia dan ukhrowi kita. Namun siapa sangka banyak orang yang salah
mengira akan penghuni pesantren dan pesantren itu sendiri. Mengapa ini bisa
terjadi?
Keidentikan
dengan seorang ulama atau kyai adalah ciri khas yang dimiliki oleh pondok
asuhan (pesantren). Mewadahi bagi masyarakat yang ingin mendalami berbagai ilmu
ukhrowi di dalamnya termasuk ma’rifat lillahi ta’ala. Pesantren mengajarkan
berbegai disiplin ilmu atapun management waktu bagi mereka yang juga di sisi
lain mengemban sebagai siswa atau mahasiswa di dunia perkuliahan. Namun siapa
sangka banyak orang yang menilai sebelah mata atau bahkan keliru dalam
menafsirkannya.
Ketika
seorang terjun di pesantren, mereka diharapkan menjadi seorang yang ahli
ibadah, ahli amalan-amalan wajib dan sunnahnya, tawadlu’ dalam perbuatannya,
karena hal demikianlah yang diajarkan oleh sang kyai. Namun siapa sangka jika
ada salah satu atau salah dua diantaranya memilki sifat yang berkebalikan?
Sesuai dengan kacamata penulis beberapa orang mengatakan bahwa “padahal belajar
di pesantren tapi kok ngunu” hal ini masih mending. Akan tetapi lebih parahnya
jika ada seorang santri maupun santriwati yang tidak betah tinggal di pesantren
mereka justru menilai kesalahan dari pesantren itu.
Memang,
pesantren mengajarkan hal-hal yang positif, bahkan bukan hanya pesantren saja
tapi semua orang pengajar akan memberikan hal yang positif bagi orang lain.
Sehingga yang menjadi permasalahan di sini adalah objeknya, mengapa mereka bisa
menyimpang dari apa yang diajarkan. Janganlah sesekali menyalahkan orang lain,
karena musuh terberat kita adalah diri sendiri. Banyak orang yang salah kaprah
ketika hal ini terjadi sehingga negative thinking kita akan muncul pada
seseorang.
Banyak
sekali penilaian negetif yang diberikan oleh masyarakat, tentu saja karena
sifat negative thinking yang pertama kali berkesan mendengar kata pesantren.
Pesantren itu ribet, pesantren itu ketat, waktu bermain terbatas, mandinya
susah, mau izin keluar susah, harus bangun pagi-pagi, kumuh, ramai, dan pesantren
itu bla bla bla, sehingga mereka merekomendasikan :jadi jangan masuk pesantren”.
Hal semacam inilah yang menjadi momok bagi mereka yang ingin mendalami ilmu
agama karena banyak orang yang mendoktrin kenegatifan dari pesantren. Bagi
mereka yang suka dan niat dengan susngguh-sungguh tak akan merasakan hal yang
seperti itu, sehingga otak pikiran kita harus segera move dari pikiran
negative. Namun bagi mereka yang sudah mendoktrin itu adalah kesalahan diri
mereka sendiri, karena musush terberat manusia adalah diri mereka sendiri bukan
tempat dimana kita menimba ilmu.
Pesantren
tidak pernah salah dengan rutinitas yang padat dari fajar hingga malam, karena
itu sudah menjadi hal yang dipertimbangkan antara keseimbangan kepentingan
duniawi dan ukhrowi, karena menata keseimbangan itu penting. Pesantren adalah
akses kita untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Cipta bukan mendekatkan diri
dari bermain, waktu luang dan segela kemewahan dunia.
So,
bagi kalian yang tidak betah tinggal di pesantren intropeksi dirilah kalian.
Kaji apa yang membuat diri kalian tidak krasan dan fahamilah diri kalian untuk
menjadi insan yang mulia. Yuk nyantri, mari tengok masa depan akhirat kita dan
carilah tau ada apa dengan pesantren?
30 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar