Kamis, 08 Oktober 2015

Miss You

            Hari itu telah lampau, puluhan tahun yang telah berlalu. Tetapi betapapun lama hitungan puluhan tahun itu, hari-hari itu begitu dekat seperti baru terjadi kemarin.
Memang daya ingatan cara bekerjanya sangat misterius, terbolak-balik tiada dapat tentu. Kadang ketika kita menunggu sesuatu waktu seperti berjalan di tempat, namun ketika kita mengenang sesuatu seakan-akan kita bisa menembus waktu yang telah lampau dalam hitungan detik.
Hari-hari yang hujan dalam ingatanku, aku sedang bermain-main air hujan di sekitar pekarangan yang tandus diwaktu musim kemarau itu. Aku bermain kubangan air di jugangan, lalu berseluncur diatas licinya tanah liat. Tetapi ketika halilintar bergemuruh menyambar-nyambar maka segera kakekku memanggilku untuk segera mentas dari bermain hujan. Itulah penggalan ingatan yang begitu mudah hadir dalam kenangan.
Sekarang aku sudah begitu rapuh, kulit-kulitku kisut sekeriput kulit kakekku dahulu. Tulang-tulangku tak sekuat masa mudaku dahulu, rambut putih memahkotai kepalaku. Namun yang paling menyiksa adalah peristiwa dalam ingatan-ingatanku tak mau luruh bersama usiaku, ia terus hadir bersama mimpi-mimpi di tengah malam yang gelap. Dan, yang paling sering adalah ingatan tentang dirimu.
Dada terasa sesak, air mata keluar dengan sendirinya beriringan dengan aliran ingatan tentang kita berdua. Meskipun yang ada dalam gambaran kenangan adalah hal yang indah-indah tetap saja membuat hatiku bersedih. Serasa tubuh ada di ruang gelap dan dingin, di dada terasa ada rongga gua bawah tanah yang begitu besar namun juga gelap. Masa itu, bukit-bukit yang kita lalui dalam perjalanan penuh semerbak bunga mawar di kanan kiri jalan. Para tani menyiangi tanaman dengan penuh kegembiraan dan nyanyian, di wajah mereka terpancar sinar kemerdekaan dan kebebasan yang tiada dapat di renggut darinya. Katamu kaum tani adalah orang yang paling senang sepanjang hidupnya, mereka senang ketika melihat biji-biji yang disemai tumbuh daun hijau dan mereka juga senang ketika mereka hendak panen. Kau mengajariku memetik bunga yang merah mekar dan masih berembun untuk dimakan, rasanya manis kecut dan pahit jadi satu.
Di bukit itu kita mendaki ke puncak yang paling tinggi, meski kuda-kuda yang disewakan oleh pemiliknya telah di obral semurah-murahnya kita tetap tak tergoda dan melanjutkan jalan mendaki. Sesekali kita berhenti untuk meandang hamparan pohonpohon dan liuk liku bukit-bukit di kejauhan yang sangat indah. Kita tidak saling bicara, namun aku tahu masing-masing kita menyadari saat itu bahwa kita menikmati itu dalam suasana kebersamaan yang sangat romantis.
Sekarang tua renta ini lumpuh, dimakan waktu yang katamu: waktu akan meluruhkan segalanya. Tapi aku menampik anggapan itu, ingatan tak mau luruh seiring berjalannya waktu, dan ukiran-ukiran perbuatan manusia mungkin saja bisa punah tetapi ingatan mungkin selamanya mengambang dalam ruang angkasa seperti roh-roh yang bergentayangan. Dan bintang-bintang di atas langit sana yang serba berkelap-kelip adalah pancaran berjuta-juta tak terhingga keinginan dan ingatan manusia. Seperti keinginanku sekarang ini, yang mungkin kekanak-kanakan dan abstrak. Aku menginginkan kita tak pernah bertemu sehingga sakit yang sekarang kuderita karena perpisahan denganmu tidak pernah kurasaakan. Andai saja kita tidak ada di tempat yang sama dan waktu yang sama kita benar-benar tidak akan saling berjumpa. Kesanku terhadapmu begitu kuat, sehingga detail-mendetail peristiwa apa saja yang kita lalui tak mungkin aku lupa.
Sungguhpun bila aku bisa datang ke masa laluku, aku akan berusaha untuk menghindari pertemuan kita. Aku tidak akan menjabat tanganmu untuk berkenalan, aku hanya kan menikmati keindahanmu dari kejauhan. Tetapi, apakah ada sebuah mesin yang dapat kutumpangi untuk pergi ke masa itu. Bila ada apakah mesin itu mampu bekerja dengan sempurna, mampu mengangkut renccana pikiranku sekarang ke masa itu.
Ataukah mesin itu hanya mengangkut tubuhku saja, dan ingatanku terhapus satu persatu menurut derajat waktu. dan rencanaku sekarang juga ikut terhapus. Maka sia-sialah mesin waktu itu karena tetap saja daya yang mempertemukan kita akan begitu kuat menarik kita untuk bertemu.
Relakan semua, hayati, dan sadari. Itulah kata-katamu yang terakhir padaku, kau bagai orang bijak yang bicara penuh keyakinan. Menasehati aku akan kesadaran yang tulus dan keikhlasan yang tidak dibuat-buat. Sungguh saat perpisahan tidak ada hati yang tidak remuk, dan tidak ada jiwa yang tidak menangis. Sebagaimana lambang yin dan yang dalam mitologi, meskipun berbeda ia tetap berpelukan satu sama lain. Lalu aku dan kamu haruskah berpisah hanya karena sebuah perbedaan.
Kau sudah menebak, apa-apa yang akan terjadi di hari-hari yang senja ini. Kita masing-masing akan mengingat pada kenangan-kenangan yang indah. Katamu, semua telah kita genggam saat kita sudah renta. Ya, memang semuanya telah kita genggam dan rangkun dalam bahasa hati. Untuk itulah kita hidup kau berkata padaku, dan kemudian kita mati telah turut dalam genggaman kita sebuah rahasia alam.
Saat kau tiba-tiba menyingkir dari kehidupan ramai dan membawa diri kepada kesunyian. Kau tinggalkan segala upaya kita yang telah kita rintis dari awal.
Kesimpulanmu adalah, bahwa masing-masing dari kita telah menepati janji untuk saling setia dalam kebersamaan dan tidak ada lagi sesuatu hal yang perlu di perdebatkan. Kau menganggap cukup kita sampai disini, karena tiada lagi apa-apa yang kita songsong dalam kebersamaan. Bahwa kita telah merangkum kebahagiaan yang sempurna dalam senang dan pedih. Dan rasa senang dan pedih yang silih berganti itu telah menunjukan jalan yang sunyi. Kau menyihirku dalam kebijaksanaan yang ayu, dan wajahmu berbinar binar memancarkan keindahan misterius. Aku tak dapat mendebat bahwa kita memang harus berpisah. Tetapi kerelaan yang tulus seperti yang kau ajarkan itu memang susah dipenuhi. Sejenak setelah kau berkata-kata padaku, dan kita saling bisu menembus pandangan kita ke bukit-bukit di kejauhan. Kemudian kau yang pertama menangis, sambil berkata bahwa batu pun dapat leleh. Aku diam dan tak bicara apa-apa padamu, karena ketika aku bicara pasti akan menambah luka pada kita berdua.
Sekarang apa yang akan kulakukan, semua telah terjadi dan masing-masing dari kita pasti luka. Jalan sunyi yang kau pilih adalah hakmu sepenuhnya dan aku tak dapat berbuat apa-apa. Akupun harus rela seperti dirimu, itulah satu-satunya kebahagiaan abadiku sekarang. Kerelaan atas sesuatu hal yang dipiliih kekasihnya, meskipun aku tetap sedih. Namun kerelaan yang kurasa derajatnya mengalahkan kesedihan yang permanen.
Aneh benar perasaan ini, sedih namun bahagia, bahagia namun sedih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar